"Cokelat"



                COKELAT

Pagi ini cukup cerah untuk memulai aktivitas. Setengah tujuh terpampang jelas di jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Lekas aku menyesap segelas susu yang ada di meja dan merapikan seragamku, lalu pamit kepada bunda.
“Hati-hati. Naik ojek depan komplek aja, kesiangan kan?” Tanya bunda, aku hanya menganggukan kepalaku dan melenggang keluar rumah.
Aku berjalan sampai depan komplek, dan benar saja kemacetan sudah terlihat, seperti bunda bilang. Aku memasang earphone ku dan naik ojek. Lampu merah terlihat, dan kendaraan pun berhenti. Aku menolehkan kepalaku ke bus metro mini yang ada di sebelah kananku, bermaksud untuk berkaca, aku malah mendapatkan sesosok gadis manis di dalamnya. Sepertinya dia sedang resah, sama sepertiku. Cantik sekali, mata bulatnya, rambut kuncir kudanya, natural. Dia melihat jam tangannya, lalu menolehkan kepalanya ke arahku. Akupun memalingkan pandanganku ke arah lain.
                “BRUK..” aku menabrak lelaki gendut di balik pintu kelas, aku tak melihatnya. Aku terjatuh dengan cokelat di bajuku. Sontak aku berdiri, dengan dibantu beberapa teman kelas. Lelaki gendut itu mengeluarkan sapu tangan dan mencoba membersihkan bajuku yang kotor karenanya.
“Gak usah.” Aku menampik tangannya dan duduk di kursiku.
“Dia siapa sih?” tanyaku ke Rama yang ada di sebelahku.
“Katanya sih anak kepala sekolah, kabarnya dia disini cuma 3 bulan aja, ndrew.”
“3 bulan? Kok gitu?”
“Iya jadi katanya dia punya keterbatasan sejak lulus smp, kelainan mental gitu. Padahal dia sempet sekolah tk-sd-smp. Kepala sekolah mau buktiin kalau anaknya itu normal dan bisa beradaptasi seperti anak lainnya. Makanya dicoba disekolahin dulu disini.”
 “Oh. Iya sih keliatan juga. Aneh.” Rama menaruh jari telunjuknya di bibirnya, mengisyaratkan bahwa aku harus berhenti berbicara.
Kepala sekolah masuk ke dalam kelasku dan memperkenalkan anak lelaki gendut itu. Namanya Reno. Selama ibunya—yang juga kepala sekolah—berbicara, dia hanya sibuk dengan cokelat yang jelas-jelas tadi sudah mengotori baju putihku ini. Anak aneh.
                Bel istirahat berbunyi, anak kelas pun berhamburan keluar kelas. Aku menunggu kelas sepi, supaya tidak desak-desakkan. Anak aneh itu masih di kursinya, aku memperhatikan gerak-geriknya, seperti tidak mempunyai masa depan. Pandangannya kabur. Perlahan aku mendekatinya. Dengan percaya diri aku memulai percakapan
“Eh anak aneh. Enggak ke kantin?” tanyaku sambil duduk menghadapnya.
“Aku tidak akan kemana-mana.” jawabnya datar.
“Emang enggak bosen? Makan mulu tambah gendut lo!” ujarku sambil tertawa.
Dia menatapku tajam, seperti ingin memangsaku.
                Sorry sorry enggak maksud. Beneran nih mau disini aja?” tanyaku sekali lagi.
                Reno hanya diam dan menunduk.
                “Yaudah, gue duluan ya.” aku meninggalkannya sendirian di dalam kelas.
                Persis saat aku keluar kelas, aku menangkap sosok itu lagi, gadis manis yang ada di bus tadi pagi. Namanya Dalila, anak kelas sebelah yang sudah aku taksir sejak aku masuk sekolah ini. Ya aku tahu namanya dari Rama. Dalila ikut ekskul pecinta alam, sama seperti Rama. Sedangkan aku masuk ekskul basket. Tidak sadar aku mengikutinya hingga kantin, dan Dalila sekali lagi menangkap keberadaanku dan pandanganku. Namun, kali ini aku tidak menundukkan kepalaku, aku malah melemparkan senyuman termanis yang aku punya. Dalila membalasnya dengan senyumannya pula. Astaga.. cantik sekali.
                “Eh!” tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, aku menoleh, itu Reno. Si anak aneh.
                “Lo lagi? Katanya enggak mau kemana-mana?”
                “Aku hanya mau bilang maaf sama kamu.” suara besarnya terdengar kaku.
                “Oh masalah pagi tadi? Slow, enggak apa-apa kok.”
                “Tapi aku tidak enak. Mau aku ganti saja bajunya?”
                “Enggak, enggak usah!”
                “Pokoknya aku ganti besok ya. Aku Reno..” katanya sambil menjulurkan tangan.
                “Gue Andrew.”
                Pertemanan kami di mulai dari sini……..
~
                Sudah dua bulan aku dan Reno berteman, sedih rasanya kalau tahu kita akan berpisah satu bulan lagi. Reno anaknya asik juga. Terkadang kesan pertama tidak selalu mewakili segalanya. Sempat aku lupa bawa PR ku, saat ibunya mengajar, dan dia menyelamatkanku dengan pura-pura pingsan di kelas, sehingga kepala sekolah yang sedang mengajar sibuk mengurusnya. Itu adalah hal yang paling lucu, yang pernah aku alami. Ternyata Reno begini karna waktu smp dia sering di bully. Teman-temannya selalu mengolok-olok karna tubuhnya yang gendut. Orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Tubuhnya yang gendut pun karna orang tuanya juga yang tidak memperhatikan asupan gizi yang dikonsumsi Reno. Asal Reno kenyang, orang tuanya merasa senang. Padahal Reno mengkonsumsi apapun yang dia mau, dari mulai fast food, hingga junk food.
                “Andrew. Aku bawa cokelat dua, yang satunya buat kamu ya.” Reno tersenyum sambil mengulurkan cokelat di tangannya.
                Thanks ya. Tapi boleh gue kasih seseorang enggak? Boleh ya?”
                “Siapa?”
                “Buat Dalila, cewek cantik yang gue suka. Cantik banget deh Ren. Tapi gue belum kenalan!”
                “Kalau begitu, kamu harus kenalan sama dia.” Reno masih flat. Seperti biasa.
                Aku menuju sekre pecinta alam, menitipkan cokelat ke Rama yang sedang ada disana. Untung Dalila sedang tidak disana.
                “Dalila  nya mana?” tanya Reno polos.
                “Psstt.. Jangan kenceng-kenceng, malu.”
                “Kenapa kamu malu? Kalau cinta, enggak boleh malu. Kamu harus tunjukkan. Walaupun gagal, setidaknya kamu sudah berusaha, kan?”
                I dunno. Tapi untuk sekarang gue belum siap, Ren.”
                “Oke. Kalau begitu ayo kita kembali ke kelas!” kali ini Reno mulai mempunyai nada dalam gaya bicaranya. Akhirnya..
~
                “Andrew..” panggil gadis manis bermata bulat itu.
                “Hari sabtu kan anak pecinta alam ngadain trip ke bromo, ikut yuk!”
                “Sabtu ini?”
                “Iya. Terbuka untuk umum kok, boleh ajak yang lain. Ikut ya, jangan sampai enggak. Hehe.” aku meleleh. Dalila mengajakku? Ini bukan mimpi kan? Kalau memang mimpi, semoga aku terbangun saat semuanya indah pada ending-nya. Aku dan Dalila sudah cukup dekat sejak cokelat waktu itu. Sepertinya aku harus mengajak Reno. Sebagai tanda terimakasihku kepadanya.
                “Reno. Ikut gue ya sabtu ini ke bromo sama anak pecinta alam? Please. Lo harus ikut lihat kebahagiaan gue! Hahaha.”
                “Ibu pasti tidak akan mengijinkan aku pergi. Apalagi jauh. Lalu aku harus bagaimana?”
                “Yah. Masa enggak boleh sih? Lo kan udah gede. Ayoklah. Yakinin orang tua lo, kalau lo bisa mandiri disana. Gue juga bakal jaga lo, kok. Jadi tenang aja.”
                “Aku bakal coba deh. Tapi aku tidak janji. Oke?”
                “Hmm.. yaudah deh.” kataku menundukkan kepala, tanda kecewa.
                “Lo. Jangan. Kecewa. Dong..” Reno mengucapkan kalimat tersebut dengan nada robot, tidak pernah aku dengan Reno menggunakan bahasa gaul seperti itu.
                “Maksa banget sih Ren, haha. Yuk ke kantin! Gue traktir!” aku tertawa dan menariknya ke kantin.
                Reno memang aneh, tapi setidaknya dia normal di mataku. Bahkan, Reno tidak hanya sahabat untukku, dia bisa berubah menjadi sosok pengganti Ayah yang sudah tiada lima tahun silam.
~
                Hari ini cuaca mendung, langit tidak segan meneteskan tetes demi tetes air dari balik awan. Aku berangkat memakai jas hujan. Aku naik bus orens yang tidak lain adalah metro mini. Karena aku tahu, guru akan memberikan toleransi keterlambatan pagi ini. Bangku ke tiga dari depan, menjadi pilihanku untuk duduk. Seperti biasa, aku mengeluarkan earphone, dan memainkan musik kesukaanku di gadget.
                “Andrew?” suara di sebelahku mengejutkan.
                “Dalila! Kok bisa disini?” tanyaku senang.
                “Kan aku emang naik ini ke sekolah. Kamu lupa? Kan waktu itu kamu lihat aku. Haha.” Ketawanya renyah, kali ini rambutnya dibiarkan terurai. Sedikit basah karna rintik hujan di luar sana. Manis!
                “Yah, aku ke-gep nih! Haha”
                “Haha. Kamu tumben naik bus?” tanyanya sumringah.
                “Hujan, enggak mungkin kan naik ojek? Bisa-bisa sampai sekolah aku basah kuyup, Dal.”
                “Iya juga sih, hehe.”
                “Sabtu kamu jadi ikut kan?”
                “Hmm.. maunya sih ikut.”
                “Ikut dong! Pokoknya aku kecewa kalau kamu enggak jadi ikut.” Bibir Dalila mengerucut. Manisnya.
                “Ngambek. Haha, iya aku udah ijin nyokap kok. Pasti ikut.”
                Tiba-tiba kami hening. Aku pun bingung harus ngapain, salah tingkah, malaikat manis ini sekarang ada di sebelahku. Mungkin wajahku sudah seperti kepiting rebus.
                “Mau dengerin?” akhirnya aku memulai percakapan lagi, dan mengulurkan sebelah earphone ku ke Dalila.
                “Lagu kesukaanku!” Dalila tersenyum, sambil menggoyangkan kepalanya sedikit, menikmati irama musiknya.
                Kami sampai depan sekolah. Dalila membawa payung, dan memayungiku sampai dalam.
                “Thanks ya Dal. Aku duluan.”
Aku masuk kelas. Reno belum hadir. Padahal biasanya dia selalu paling dulu masuk kelas. Kemana dia, aku khawatir.
Sejam berlalu.. Reno tidak hadir. Sepi rasanya. Padahal niatnya aku ingin cerita banyak hal dengannya. Semoga tidak ada apa-apa dengannya.
~
                Aku duduk sendiri di dalam kelas, menunggu kehadiran Reno. Sudah dua hari dia tidak masuk kelas. Kabarnya dia sakit.
                Cokelat?” uluran tangan dan cokelat di depan mataku membuat aku tersenyum senang.
                “RENOOO!” aku memeluknya erat. Rindu rasanya.
                “Kamu kangen aku ya?”
                “Jelas! Gue kangen banget. Gue kan mau ceritain Dalila, lo malah enggak masuk-masuk.”
                “Dalila? Cerita sekarang. Aku sudah enggak sabar!”
                Topik pagi itu hanya Dalila, dan Dalila. Gadis manis bermata bulat. Dalila memang manis, seperti cokelat di tanganku ini. Mata bulatnya selalu memenjarai hatiku. Aku menyukai setiap inci yang ada dirinya. Entah mengapa harus Dalila. Padahal, aku tahu, banyak yang lebih cantik disbanding dia. Dalila itu spesial, aku sudah terlanjur jatuh hati kepadanya. Awal aku melihatnya di masa orientasi. Wajah polosnya, rambut ikalnya, poni nya, mata bulatnya, senyumnya, gerak-geriknya. Dahulu, aku hanya menjadi penggemar rahasianya. Aku kira, aku hanya bisa menjadi penggemar rahasianya, hanya menjadi pecundang yang bersembunyi. Hari sabtu… aku akan menyatakannya, menyatakan semua perasaanku selama ini.
~
                Perlengkapan mandi, cek! Baju hangat, cek! Jaket, cek! Sepatu, cek! Obat-obatan, cek! Semuanya, cek!
                Sabtu datang. Aku sangat bersemangat. Reno akhirnya boleh ikut, setelah perdebatan yang panjang kemarin sore. Aku membantunya, agar dia diijinkan orang tuanya. Semuanya sudah siap, aku bergegas keluar rumah. Bunda sudah siap mengantarku dengan mobil kecilnya. Kami menjemput Reno di kediamannya yang tidak jauh dari rumah kami. Reno keluar rumah dengan tas besarnya di pundak, ditemani ibunya.
                “Hati-hati ya Reno. Andrew, jagain Reno ya.” Pesan ibunya.
                “Pasti bu. Kami berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
                Kami melambaikan tangan dari dalam mobil.
                “Lo enggak apa-apa kan, Ren?” tanyaku. Reno terlihat pucat pagi ini.
                “Aku baik-baik aja. Nih lihat..” Reno tersenyum dan memperlihatkan gigi putihnya.
                “Beneran? Kalau sakit, kita pulang aja. Gue sendirian aja.”
                “Benar kok. Udah deh, enggak usah leb.. apa tuh lebah ya?”
                “Hahaha, lebay Ren. Lebah mah serangga.”
                Kami pun tertawa bersama di dalam mobil. Begitupun bunda. Bunda mem-play lagu dengan volume cukup tinggi, dan kami pun bernyanyi bersama, hingga sampai sekolah.
                “Hei! Aku fikir kamu enggak jadi ikut.” Sapa Dalila pagi ini, dengan jaket berwarna violet dan kupluk yang menutupi rambut ikalnya, cantik.
                “Aku pasti ikut lah. Eh kenalin nih, Reno.”
                “Ya, aku tahu, anaknya kepala sekolah ya? Salam kenal, aku Dalila. Boleh panggil Dal, Lil, La, Lili, Lala. Boleh. Hahaha”
                “Aku tahu kamu. Andrew sering cerita kok.” Reno membongkar rahasiaku. Lagi-lagi wajahku seperti kepiting rebus.
                “Haha. Yaudah ah yuk masuk bus.” Ajakku mengalihkan suasana.
Aku masuk ke dalam bus duluan, disusul Dalila, lalu Reno. Baru selangkah dia naik ke atas bus, Reno terjatuh. Dan tergeletak pingsan. Sontak aku terkejut, dan lari keluar bus. Keningnya berdarah.
                “Reno! Eh tolongin dong, ya Allah Ren. Lo kenapa??” aku menggerak-gerakan badan gempalnya. Reno membuka matanya pelan.
                “Drew..” panggilnya pelan.
                “Iya Ren. Lo enggak apa-apa kan? Lo kuat Ren!”
                “Aku enggak apa-apa Ren. Aku cuma capek aja hidup di dunia ini. Orang-orang jahat.”
                “Maksud lo apa sih, jangan bercanda deh Ren.”
                “Serius. Aku cuma punya kamu yang sayang dan peduli sama aku.. tapi kayaknya aku udah enggak kuat deh, Drew.. padahal aku mau lihat kamu perjuangin cinta kamu sama Dalila. Tapi aku bener-bener udah enggak kuat… sampai ketemu nanti ya. Daah..” Reno memejamkan matanya pelan. Aku memegang pergelangan tangannya, mendengarkan denyut nadinya… hilang.
                “RENOOOO…!!! JANGAN TINGGALIN GUE. APAAN SIH, BERCANDA AJA. LO SAHABAT TERBAIK GUE REN!!!” aku meneteskan air mata. Dalila mengusap pundakku.
~
                Aku ke mini market seberang komplek, membeli cokelat. Bersama Dalila, kekasihku. Ya, kami sudah jadian. Hari ini aku akan mengunjungi sahabat terbaikku. Reno. Ternyata Reno sudah sakit sejak lama, jantungnya melemah sejak dia sering di-bully. Kami akan membawa bunga dan cokelat. Spesial ya? Tentu. Orang ini sangat spesial. Dia selalu ada untukku. Walaupun dia aneh, tapi aku sangat menyayanginya… kadang, kenyataan memang tidak selalu terlihat baik di mata kita. Yang terlihat buruk belum tentu buruk, dan yang terlihat baik belum tentu baik. Terkadang kita mudah menilai orang dari penampilannya, tanpa peduli bagaimana isinya, bagaimana sebenarnya.
                Kita mudah menyerah sebelum berjuang, mudah mengeluh sebelum melihat sekitar, banyak orang lain yang lebih susah dan menyakitkan hidupnya, bukan? Kita tidak pernah tahu seberapa pantas diri kita untuk orang lain, tapi kita sudah judge orang lain terlebih dahulu.
Hmm..
Kita sudah sampai rumah sahabatku. Rumahnya rapi, sepertinya habis dibersihkan. Banyak bunga juga, rumputnya habis dipotong sepertinya. Disitu tertulis rapi, nama sahabatku..
RENO PRADANA..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAJAK or HACKED or HCKD or...

Demi Lovato's Style

Magang di iNews TV | Curhatan anak magang #1